Mengenai

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
I live in Semarang, Indonesia. Batik lover.

12 Februari 2008

AJA GUMUNAN, AJA GETUNAN, AJA KAGETAN LAN AJA ALEMAN

Ungkapan itu mempunyai arti harfiah adalah jangan mudah heran, jangan mudah kecewa, jangan mudah kaget dan jangan manja.
Alm. Bapak sering manyampaikan ungkapan itu jika ada kesempatan bertemu dengan aku di meja makan. Sebenarnya aku tidak terlalu paham maknanya, tapi sebagai anak yang berusaha jadi anak berbakti maka aku hanya iya-iya saja.
Jadi orang jangan gumunan, getunan, kagetan dan aleman. Itu berulang-ulang disampaikan Bapak sampai-sampai aku kadang merasa bosan dengan nasehat itu.
Idhul Fitri tahun 2006 (Bapak sudah berpulang), aku ke Yogyakarta. Sempat beristirahat sejenak di salah satu restoran kesukaan Bapak. Restoran sederhana itu menjual buku-buku juga. Murah meriah, 7500 per buku. Iseng-iseng aku lihat-lihat, ada yang berjudul LAKU HIDUP SEJATI- dalam Pandangan Jawa. karangan Widodo DS.
Aku beli buku itu, setelah kubuka halaman 15 ada sub judul yang sama dengan judul tulisan ini, Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan lan Aja Aleman. Kubaca dengan teliti, akhirnya aku bersyukur kutemukan makna salah satu falsafah Jawa yang seringkali disampaikan Bapakku.
Meski buku sangat sederhana, maknanya yang diungkap pun sangat sederhana, tapi cukup membuatku memahaminya. Saat ini aku akan berusaha menjabarkan sesuai kata-kataku.
Aja Gumunan, jangan mudah heran. Manusia yang mudah terheran-heran dengan sekitarnya membuat dia ingin mencapai apa yang digapai orang lain atau bahkan dapat pula timbul iri sehingga dia menjadi tidak bersyukur atas yang diterimanya.
Aja Getunan, jangan mudah kecewa. Kecewa berarti menyesali diri, tidak menerima ‘jatah’ yang sudah digariskan olehNya. Mengingkari nasib adalah bentuk lain dari getun.
Aja Kagetan, jangan mudah kaget. Kaget jika apa yang diinginkan tidak tercapai, yang berujung pada kecewa (getun) adalah salah satu bentuk sikap tidak bersyukur.
Aja Aleman, jangan manja. Manja dan tidak mau berusaha keras bukanlah sikap manusia mandiri. Manja menyebabkan kita menjadi terlalu tergantung pada orang lain. Sikap demikian membuat kita mudah patah semangat, padahal tantangan dunia semakin berat, jika kita manja dan patah semangat, bagaimana menghadapi dunia?
Inti dari filsafat Jawa itu sangat luar biasa. Dan juga sangat Islami. Jika kita mendalami dan menjalankan filsafat itu dengan baik maka secara tidak langsung kita juga menjalankan perintah Allah. Orang yang tidak mudah heran, tidak mudah kecewa, tidak mudahkaget dan tidak manja bukanlah orang yang suka berkeluh kesah. Dia akan selalu bersyukur, menikmati pemberian dan anugerahNya.
Dengan sikap hidup demikian, kita akan selalu berjuang dalam mengarungi kehidupan.

Semarang, 12 Pebruari 2008
Rini

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mbak Rini, salam kenal ya. Saya masuk ke blog mbak ini sebenarnya tidak sengaja. Ini pun gara-gara kurang kerjaan browsing ke sana ke mari akhirnya nyantol ke mari. Saya rasa blog ini cukup menarik karena ditulis oleh putri seorang ahli bahasa Indonesia yang sangat dikenal di Semarang, Bpk Soenardji alm. Saya baru tahu Bapak sudah almarhum juga lewat blog ini.

Dunia itu sempit ya mbak ternyata saya bisa menemukan sebuah keluarga besar yang sedikit banyak sudah saya kenal lewat cerita seorang teman se KKN yang tak lain adalah mas Anda sendiri (Mas Bowo). Ah...serasa menemukan sebuah "missing link".

Mas Bowo bagi saya adalah seorang sahabat yang baik, meski kami tidak sejurusan (saya di senirupa IKIP Semarang). Saya kenal dan bergaul dengan beliau pun tidak lama hanya sekitar 2 bulan tapi cukup bisa menilai pribadi beliau. Seorang yang berpribadi baik saya pikir adalah buah dari pendidikan yang baik di keluarganya. Blog Mbak cukup bisa menggambarkan itu.

Maaf saya terlalu banyak komentar ya. Oh ya kalau mbak ada waktu boleh sekali-kali mengunjungi blog saya di http://dianingratri.multiply.com/
Terima kasih.