Mengenai

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
I live in Semarang, Indonesia. Batik lover.

15 Februari 2008

Valentine

Semalam anakku, Ayu (SD kelas VI) bercerita sambil mintaijin : "Bu, besok pagi aku berangkat pagi-pagi, nyampe sekolah jam 6. Soalnya ada lomba menyambut valentine."

Komentarku:"Ga usah ikutan, Dik. Itu ngga adaaturannya dalam agama."

Dijawab:"Upacara 17 Agustus juga ngga ada aturannya, kenapa boleh?"

Aku cuman ketawa terbahak-bahak..

Dia tambahkan lagi : "Ini aturan manusia, Bu. Aku tetep mau berangkat pagi."

Akhirul kalam: "Yo wis, terserah Adik aja."

Rini

13 Februari 2008

YIBANRA

Yibanra adalah akronim atau singkatan nama panggilan putra-putri Ibu-Bapakku. Yayas (nama panjangnya Tyas Agung Pribadi), Itok (Baswara Pramudita), Bowo (Sasangka Prabawa), Aang (Suminar Pratapa), Niken (Niken Tunjung Murti Pratiwi), Rini (Yuktiasih Proborini) dan Anto (Hascaryo Pramudibyanto).

Kami bertujuh masing-masing sudah berkeluarga dan mempunyai anak, jumlah cucu orang tua kami 19 orang. Saat ini umur cucu tertua adalah 19 tahun dan yang termuda adalah 5 tahun.

Mas Yayas tinggal di Semarang, di belakang rumah Ibu. Mas Itok di Pamulang, Jakarta. Mas Bowo di Pekalongan, Mas Aang di Surabaya, Mbak Niken di Bogor, Dik Anto di Parung-Bogor. Aku di Semarang menemani Ibu.
Bapak kami meninggal tahun 2003, saat itu salah satu cucunya belum pernah bertemu karena masih berada di Australia. Mas Aang sedang tugas belajar untuk ambil program Doktor di Perth.

Yibanra mempunyai lambang, kapan-kapan aku tayangin, ya. Karena harus dicari arsipnya dan discan dulu. Dulu, di kalangan remaja di jalan Kanfer, Waru dan sekitar masjid Muhajirin Banyumanik, kami cukup dikenal. Bahkan sekarang pun jika Ibu bertemu dengan teman jadul kami , mereka sering kali bertanya: Yibanra masih ada, Bu? Ibu selalu menjawab: Ya masih ada dong.

Alhamdulillah, kami kompak, gembira dan selalu ketawa-ketiwi kalau bertemu. Kami saling bercerita di meja dhahar (makan), sambil ngemil dan minum the atau kopi. Kami bisa berkumpul dengan full team hanya di waktu Idhul Fitri. Jika anak-anak liburan, mereka sering juga ‘pulang’ keSemarang. Tetapi karena libur semester tidak selalu sama maka tidak bisa full team. Makanya kami pingin protes ke Mendiknas, supaya bisa libur bareng (PD banget ya..).

Sebaliknya, Ibu juga sering bepergian untuk menengok anak-cucunya. Ibuku sekarang berusia 72 tahun. Tapi kalau bepergian, tidak mau diantar siapa pun karena memang tidak ada yang bisa mengantar juga sih.

Bulan ini ke Jakarta, Parung dan Bogor, maka bulan depan ke Pekalongan. Lalu bulan berikutnya ke Surabaya. Jika pingin naik kereta, ya naik kereta. Kalau pingin naik pesawat, ya naik pesawat. Dibawa santai aja, katanya.

Banyak cerita lucu yang saat ini sedang kami gali. Kami saling berkirim email. Bahkan Mas Yayas sudah membuatkan blog untuk kami (www.yibanra.blogspot.com). Cerita-cerita itu akan dikumpulkan dan kalau memungkinkan akan dibukukan. Seru sekali…!!

Nama Yibanra aku abadikan sebagai nama toko kelontong yang kukelola. Sering banget sales datang dan bertanya arti nama tokoku. Jawabku: artinya adalah tujuh anak jagoan…

Semarang, 13 Pebruari 2008

12 Februari 2008

AJA GUMUNAN, AJA GETUNAN, AJA KAGETAN LAN AJA ALEMAN

Ungkapan itu mempunyai arti harfiah adalah jangan mudah heran, jangan mudah kecewa, jangan mudah kaget dan jangan manja.
Alm. Bapak sering manyampaikan ungkapan itu jika ada kesempatan bertemu dengan aku di meja makan. Sebenarnya aku tidak terlalu paham maknanya, tapi sebagai anak yang berusaha jadi anak berbakti maka aku hanya iya-iya saja.
Jadi orang jangan gumunan, getunan, kagetan dan aleman. Itu berulang-ulang disampaikan Bapak sampai-sampai aku kadang merasa bosan dengan nasehat itu.
Idhul Fitri tahun 2006 (Bapak sudah berpulang), aku ke Yogyakarta. Sempat beristirahat sejenak di salah satu restoran kesukaan Bapak. Restoran sederhana itu menjual buku-buku juga. Murah meriah, 7500 per buku. Iseng-iseng aku lihat-lihat, ada yang berjudul LAKU HIDUP SEJATI- dalam Pandangan Jawa. karangan Widodo DS.
Aku beli buku itu, setelah kubuka halaman 15 ada sub judul yang sama dengan judul tulisan ini, Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan lan Aja Aleman. Kubaca dengan teliti, akhirnya aku bersyukur kutemukan makna salah satu falsafah Jawa yang seringkali disampaikan Bapakku.
Meski buku sangat sederhana, maknanya yang diungkap pun sangat sederhana, tapi cukup membuatku memahaminya. Saat ini aku akan berusaha menjabarkan sesuai kata-kataku.
Aja Gumunan, jangan mudah heran. Manusia yang mudah terheran-heran dengan sekitarnya membuat dia ingin mencapai apa yang digapai orang lain atau bahkan dapat pula timbul iri sehingga dia menjadi tidak bersyukur atas yang diterimanya.
Aja Getunan, jangan mudah kecewa. Kecewa berarti menyesali diri, tidak menerima ‘jatah’ yang sudah digariskan olehNya. Mengingkari nasib adalah bentuk lain dari getun.
Aja Kagetan, jangan mudah kaget. Kaget jika apa yang diinginkan tidak tercapai, yang berujung pada kecewa (getun) adalah salah satu bentuk sikap tidak bersyukur.
Aja Aleman, jangan manja. Manja dan tidak mau berusaha keras bukanlah sikap manusia mandiri. Manja menyebabkan kita menjadi terlalu tergantung pada orang lain. Sikap demikian membuat kita mudah patah semangat, padahal tantangan dunia semakin berat, jika kita manja dan patah semangat, bagaimana menghadapi dunia?
Inti dari filsafat Jawa itu sangat luar biasa. Dan juga sangat Islami. Jika kita mendalami dan menjalankan filsafat itu dengan baik maka secara tidak langsung kita juga menjalankan perintah Allah. Orang yang tidak mudah heran, tidak mudah kecewa, tidak mudahkaget dan tidak manja bukanlah orang yang suka berkeluh kesah. Dia akan selalu bersyukur, menikmati pemberian dan anugerahNya.
Dengan sikap hidup demikian, kita akan selalu berjuang dalam mengarungi kehidupan.

Semarang, 12 Pebruari 2008
Rini

11 Februari 2008

Apa Enaknya Jadi Single Parent?

Menjadi single parent atau orangtua tunggal, bukanlah cita-citaku. aku sangat mencintai pria yang sudah bersedia hidup bersamaku dan memadukan cintanya sampai kami punya dua putri. Tapi apa mau dikata, manusia bisa berubah, demikian juga diriku. Bukan aku merubah menjadi benci dia, sama sekali bukan. Tapi aku merubah keputusanku, lebih baik aku hidup sendiri.
Memang tidak terbayangkan, bagaimana hidup sendiri- hanya dengan anak-anak. Untungnya, alhamdulillahnya, mantan suamiku adalah jurnalis yang sering meninggalkan rumah, membuat aku terbiasa memutuskan hal-hal penting di keluarga kecilku. Dia sering pergi ke luar kota, sehingga membuat aku tidak tergantung penuh padanya.
Pada saat aku menyampaikan padanya: aku punya hak untuk hidup bahagia, maka aku memutuskan bahwa kebahagianku tidak tergantung pada dia atau siapa pun. Pada saat itu pula, aku memutuskan bahwa masa depanku ada di genggamanku. Masa depan anakku harus kuutamakan.
Seiring berjalannya waktu,semakin yakinlah aku bahwa segala sesuatu di dunia ini ada yang mengatur. Saat kepepet, aku ga punya uang.. Allah mengirimkan rejeki lewat siapa pun yang mendatangiku. Bahkan pada saat aku berbisik, Tuhan, aku butuh teman cowo yang ngerti aku. Ngga tanggung-tanggung, Dia mengirimkan 4 cowo yang ‘melamarku’ untuk menjadi kekasihnya. Wah.. aku jadi malu, jadinya aku ngga minta apa-apa deh. Karena Dia pasti tahu apa yang aku inginkan.
Sangat tragis, jika seorang teman datang padaku dan mengeluhkan suaminya. Selalu balik aku bertanya: Kamu mau seperti aku? Enak lo, jadi janda karena ngga pusing ngurus suami. Tapi, kamu harus siap sendiri; tidur sendiri, mikir anak sendiri, mikir semuanya sendiri.
Akhirnya temanku bergidik, aku belum siap katanya. Kalau begitu, syukurilah apa yang ada di hadapanmu. Kalau punya suami, ya disayang. Bagaimana pun dia adalah pilihanmu.
Menjadi single parent adalah pekerjaan yang maha berat. Paling berat adalah menyeimbangkan mental dan psikologis anak. Jangan sampai kita memperburuk situasi dengan membuat anak menjadi tertekan atau malu oleh keadaannya. Kita harus menyemangati mereka agar tidak jadi patah semangat.
Dan jangan lupa, ibu atau ayah tunggal juga harus punya waktu untuk diri mereka sendiri. Sisihkan waktu untuk bersenang-senang. Misalkan berkumpul dengan teman lama, membaca buku, berjalan-jalan, atau kegiatan lainnya. Anak-anak pun harus diberi pengertian, agar mau memberikan sedikit waktu sehingga ibu atau ayahnya bisa melepaskan kepenatan setelah sehari-hari berkutat dengan masalah yang mungkin tidak bisa dimengerti anak.

Gamelan (Impian) Ayahku

GAMELAN (IMPIAN) AYAHKU

Seperti biasa, Ibuku selalu menghabiskan Minggu sore dengan majalah Penjebar Semangat sambil memegang bolpoin. Majalah ini sudah menjadi langganan keluarga kami sejak aku masih sangat kecil (bahkan untuk mengingatnya pun, aku sudah tidak bisa ..!). Panjebar Semangat adalah majalah berbahasa Jawa ( sampai sekarang pertanyaanku masih sama: mengapa Panjebar Semangat bukan Penyebar Semangat).
Hari ini adalah hari terakhirku berada di Semarang, kota tempat tinggal Ibu. Aku, istri dan anakku berlibur sekalian merasakan masakan buatan ibu. Dan ibu tetap melakukan kegiatan runtinnya: mengisi Teka-teki Silang (berbahasa Jawa!!), sampai selesai.
“Le... kamu ingat keinginan Bapak yang belum terlaksana?” tanya Ibu tiba-tiba. Kopi hitam buatan Ibu (Ibu selalu menyiapkannya dan dengan senang hati, istriku membiarkannya – seakan memberi kesempatan pada Ibu untuk memanjakanku) hampir saja lolos dari mulutku.
“Apa yang keinginan Bapak yang belum kita laksanakan, sebelum Bapak wafat?” ulang Ibu sambil mengusap rambutnya yang sudah sangat menipis di kepalanya.
“Ibu sudah merenovasi ruangan di loteng,” kataku sambil mengingat-ingat.
“Kamar mandi belakang udah beres, gudangnya sudah rapi. Apa lagi, ya?" sahut Ibu sambil terus memutar-mutar bolpoin di tangannya.
Tiba-tiba, anakku yang berdiri di belakang Ibu bertanya,”Eyang, aku pingin liat majalahnya, ya…?”
Tidak berapa lama, majalah itu sudah berpindah tangan. Dengan asyik, diperhatikannya gambar-gambar yang ada di majalah itu. Dia bahkan tidak bisa membaca karena meskipun ditulis dengan huruf latin, bahasanya adalah Bahasa Jawa.
“Eyang, ini gambar apa?”
“Gamelan, nak. Itu alat musik dari Jawa,” jawab Ibu sambil mengusap-usap kepala anakku itu.

Wanita Bercahaya

Mengapa?

Mengapa Wanita Bercahaya?

Karena namaku Proborini, yang artinya adalah Wanita yang Bercahaya. Nama itu diberikan oleh alm. Bapak. Menurutnya, aku adalah satu-satunya anak yang ditunggui sewaktu lahir, dan ketika Ibuku melahirkanku, wajah Ibuku bercahaya.

Dan kisah itulah yang diabadikan Bapak dalam namaku.



Setelah memasuk usia 35, barulah aku mengerti apa makna cahaya. Semoga do'a yang terkandung dalam namaku benar-benar mewujud dan bukan hanya sekedar harapan orangtuaku.



Menjadi wanita yang bercahaya..